KORAN MERAPI – Pemilik media yang berpolitik praktis menjadi predator demokrasi dengan menggunakan media sebagai mesin rekayasa narasi politik untuk mengendalikan aspirasi politik publik demi menunaikan ambisi politiknya. Predatori itu menggunakan strategi newspeak dan filter kepemilikan, uang, dan monopoli informasi.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Widya Mataram Dr. Mukhijab MA, dalam Dies Natalis ke-42 Universitas Widya Mataram Yogyakarta di kampusnya Senin (7/10/24).
Dalam orasi ilmiah berjudul Kuasa Pemilik Media Dalam Menarasikan Demokrasi Mukhijab mengatakan mereka “melakukan kudeta” ruang publik menjadi ruang privat politik, yang menyajikan secara leluasa informasi politik yang dissensus, yang sesuai selera eksklusif pemodal.
Manuver politik mereka menjadi barikade berlangsungnya tiga proses inti demokrasi, yaitu transparansi, publisitas, dan akuntabilitas. Di bawah kontrol pemodal, media memanipulasi peristiwa praktik-praktik predator politik, praktik manipulasi kompetisi politik.
Dengan demikian ekspansi pemilik media ke arena politik tidak sekedar proses normatif terjadinya paralelisme politik dan politisasi media. Manipulasi metode berpolitiknya menciptakan regresi demokrasi, yang berakar dari langkah mereka pembajak fungsi dan peran media.
Media yang ideal berfungsi menetralisasi pengaruh politik dan kekuasaan, tetapi yang terjadi media berfungsi menjadi aparatus pelaksana mandat ekonomi-politik dan kanalisasi politik pemilik modal
Mengembalikan peran pemilik media sebagai penjaga independensi media merupakan tantangan bagi media dan jurnalisme di Indoneia.
Pasar bisnis media konvensional (media cetak, radio, televisi) dan media baru (berita online) di era distrupsi digital mengalami terjun bebas. Banyak media konvensional, terutama media cetak besar yang berhenti terbit dan gulung tikar karena gempuran media daring, media sosial.
Sebagian pemilik media yang berpolitik pun mengalami tekanan ekonomi dalam bisnis media konvensional mereka. Sejalan dengan merosotnya bisnis media mereka, karir politik ikut meredup.
Sebagian pemodal media besar masih berpolitik praktis, didukung bisnis media multi platform mereka. Mereka tenggelam pusaran politik. Karena dahsyatnya pusaran politik yang menerpanya, mereka amnesia dengan jati diri sebagai penjaga independensi media dan pendulum demokrasi. Terapi okupasi nilai-nilai demokrasi tidak menyembuhkan sindrom politik mereka karena predator demokrasi menjadi habitus baru para pemilik media. (***)