KORAN MERAPI – Di bawah langit malam Yogyakarta yang hening, tepat di halaman Masjid Besar Mataram Kotagede, kisah abadi tentang kejatuhan dan kebangkitan kembali dihidupkan. Sabtu (26/4/2025), dalam rangkaian Upacara Nawu Sendhang Seliran 2025, pentas wayang kulit bertajuk “Semar Bangun Kayangan” dipersembahkan oleh Dalang Agus Podhang atau Agus Tugiana, menggetarkan hati hadirin.
Diiringi alunan musik terbang yang lirih, pentas ini membawa penonton menyelami sebuah dunia di mana kekuasaan dan pengabdian bertarung dalam sunyi. Lakon “Semar Bangun Kayangan” mengisahkan bukan hanya pertarungan antara kebaikan dan kejahatan, melainkan napas seorang pamong — suara seorang dewa yang memilih membungkuk, ketika dunia lain sibuk mendongak.
Di Keraton Amarta, panji-panji kemenangan berkibar, istana bersinar, rakyat bersorak. Namun, di balik gemerlap itu, luka lama menganga: keadilan memudar, etika penguasa mengabur. Semar, sang pamong abadi, memandang dengan mata batin yang pilu. Ia menyadari, bangsa yang dulu didirikan dengan darah dan doa kini mulai terseret arus kelalaian.
Dalam sunyi, Semar memutuskan: Amarta harus dibangun kembali — bukan dari batu, tetapi dari jiwanya. Bersama ketiga putranya, Gareng, Petruk, dan Bagong, ia menggugah para Pandawa untuk meninggalkan gemerlap istana dan menuju Karangkadempel, tempat sunyi yang mengundang manusia bercermin ke dalam dirinya.
Namun jalan menuju penyucian tidak mudah. Ancaman datang dalam wujud Kresna dan Baladewa palsu, sosok-sosok jahat yang berusaha merebut pusaka Jamus Kalimasada, lambang legitimasi dan kebenaran Amarta. Dengan dalih mengatasi pageblug yang melanda Dwarawati, mereka nyaris menodai makna sejati kepemimpinan: mengutamakan keselamatan sesaat di atas prinsip kebenaran.
Dalam lakon ini, pertarungan tidak hanya menghunus tombak dan pedang. Ia mengoyak kesetiaan dan pengkhianatan, idealisme dan oportunisme. Semar, yang di dunia pewayangan dikenal jenaka dan sederhana, sesungguhnya menyimpan rahasia agung: ia adalah Batara Ismaya, kakak Batara Guru, yang menerima hukuman suci untuk turun ke bumi membimbing manusia — bukan dari atas takhta, tetapi dari tanah, dari peluh dan sabar seorang pamong.
“Bangunan abadi bukan batu, tapi budi,” begitulah pesan malam itu bergema.
Semar tidak membangun istana dari emas, melainkan kayangan dalam batin manusia — tempat di mana pemimpin sejati bukan hanya berwibawa, tetapi juga mengayomi, merendah, dan mengabdi.
Ketika pertarungan usai, Jamus Kalimasada kembali ke tangan para Pandawa. Tapi Semar tahu: negara hanya akan tegak bila ditopang budi pekerti, bukan kekuatan senjata.
Malam itu di Kotagede, dalam bayang rembulan dan denting terbang yang mengalun lembut, Semar seolah-olah menjahit kembali langit yang robek. Meninggalkan pesan sunyi bagi siapa saja yang bersedia mendengar:
di dunia yang gaduh, kita butuh lebih banyak Semar.
Lebih banyak pemimpin yang berani membungkuk, berani merawat nurani di tengah dunia yang nyaris lupa cara bermimpi.
“Bangunlah kayangan dalam hatimu sendiri, dan biarkan nurani menjadi rajamu,” suara Semar menggema.
Sebuah sabda lintas zaman, di mana kekuasaan bukan tentang memerintah, melainkan tentang melayani. Negeri besar bukan dibangun dengan ambisi, melainkan dengan kesanggupan mengasuh hati manusia.
Dan malam itu, di Kotagede, di bawah langit yang dijahit ulang, kisah itu hidup — dan semoga, berlanjut dalam jiwa-jiwa kita. (***)