KORAN MERAPI — Di tengah hiruk pikuk perkembangan pasar tematik di Yogyakarta, hadir satu ruang baru yang mengedepankan nilai-nilai budaya, sejarah, dan spiritualitas lokal, namanya “Peken Klangenan Kotagede”. Terletak di Kelurahan Purbayan, Kotagede, Kota Yogyakarta, tempat ini resmi mulai beraktivitas sejak akhir Mei 2025 dan hanya buka setiap Sabtu dan Minggu, pukul 08.00–17.00 Wib (khusus akhir bulan buka hingga pukul 21.00 Wib).
Berbeda dari konsep pasar pada umumnya, Peken Klangenan mengusung nama yang unik dan sarat makna.
“Kami menyebutnya Peken, yang dalam Bahasa Jawa artinya pasar. Tapi kami ingin membedakannya dari pasar-pasar lain yang sudah banyak ada. Di sini bukan sekadar jual beli, tapi ruang hidup dan interaksi budaya,” jelas Awang Kagunan, Founder Peken Klangenan Kotagede, saat berbincang dengan koranmerapi.id, Sabtu (5/7/25).

Awang menyampaikan, meski konsep dasarnya mirip pasar, tujuan utama Peken Klangenan adalah membangun sebuah ekosistem baru di Kotagede, tempat masyarakat bisa terhubung dengan seni, tradisi, sejarah, dan spiritualitas lokal dengan cara yang sederhana dan menyenangkan, buktinya setiap pekannya lebih kurang 500 orang mengunjungi lokasi ini.
Saat ini, Peken Klangenan menaungi 18 tenan kuliner dan 13 tenan souvenir, ditambah dengan area khusus pameran lukisan, kerajinan kulit, wayang kontemporer, dan berbagai workshop. Tersedia pula area bermain anak, kolam ikan dan entok, serta tempat bercocok tanam yang menyediakan bibit-bibit tanaman yang dapat dibeli.
“Ini bukan event besar-besaran, bukan tempat untuk orang hanya datang lalu pergi. Kami ingin orang betah di sini, bisa ngobrol, bisa duduk santai. Kami ingin bangun ekosistem yang menyambut siapa pun: anak-anak, orang tua, pecinta seni, ibu-ibu, bahkan anak muda,” ujar Awang.

Anak-anak bisa menikmati wahana edukatif seperti mewarnai gambar secara gratis, bermain sepeda, hingga memberi makan ikan. Sementara para orang tua bisa menikmati sajian kuliner khas, belanja hasil kerajinan lokal, atau sekadar melepas penat di ruang yang teduh dan bersahaja.
Peken Klangenan juga mendorong pengunjung dan pelaku pasar untuk mengenakan busana tradisional seperti kebaya, kain, atau pakaian adat daerah masing-masing.
“Kami ingin ini jadi kebiasaan baru. Dan sekarang sudah mulai banyak pengunjung yang datang pakai kebaya atau kain. Ini bukan sekadar gaya, tapi cara kami membangun kesadaran dan kecintaan terhadap budaya, untuk nguri-uri budaya leluhur kita,” imbuh Awang.
Suasana khas Kotagede semakin terasa karena lokasi Peken Klangenan berada di kawasan historis, di dalam kompleks bekas Keraton Mataram Islam, dekat Benteng Cepuri yang menjadi saksi sejarah kejayaan Kotagede.
Salah satu tenan yang konsisten hadir sejak edisi pertama hingga kini adalah Miedes PakRi, milik Riyanto. Hidangan khas Pundong ini jadi favorit banyak pengunjung berkat rasa otentik dan harga yang terjangkau. Selain itu, pengunjung juga bisa menemukan jajanan tempo dulu seperti bajigur, dawet, tengkleng, aneka menu telur, dan minuman khas daerah.

Tak hanya itu, panggung kecil juga disediakan bagi siapa saja yang ingin tampil bermusik atau mengekspresikan diri melalui seni pertunjukan.
Peken Klangenan Kotagede bukan sekadar pasar akhir pekan. Ia adalah ruang hidup untuk siapa saja yang rindu akan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Sebuah tempat untuk belajar, berbagi, dan berkumpul, menjadi bagian dari perjalanan panjang Kotagede dalam menjaga jati dirinya. (Ags)



















