KORAN MERAPI — Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarukmo (STIPRAM) Yogyakarta sukses menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menakar Dampak Kebijakan Inpres No. 1 Tahun 2025 dan Kebijakan Pelarangan Study Tour pada Sektor Pariwisata di DIY”, yang dilaksanakan Selasa (16/9/25) beberapa waktu yang lalu di Golden Ganesha Hotel STIPRAM Yogyakarta.
FGD ini menjadi forum strategis untuk menggali dampak kebijakan pemerintah terhadap sektor pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan pariwisata, antara lain perwakilan dari PHRI, ASITA, IHGMA, ASPPI, HIPPI, Forkom Desa Wisata, serta Dinas Pariwisata DIY. Hadir pula narasumber utama Dr. Bima Setya Nugraha, S.H., M.Sc., akademisi dan praktisi hukum sekaligus Direktur Pusat Kajian Hukum Pariwisata UAD.

Kegiatan ini merupakan bagian dari skema penelitian kolaboratif dosen dan mahasiswa melalui Hibah PDP Kemendiktiristek Tahun Anggaran 2025, yang diketuai oleh Eko Haryanto, M.Par., CHE.
FGD ini dilatarbelakangi oleh dua kebijakan yang berdampak signifikan terhadap keberlangsungan sektor pariwisata di DIY, yaitu: Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja melalui pemangkasan anggaran perjalanan dinas hingga 50%, dan Surat Edaran Pelarangan Study Tour yang dikeluarkan oleh beberapa kepala daerah.
Kedua kebijakan tersebut dinilai memberi tekanan berat terhadap pelaku usaha pariwisata, khususnya pada sektor perhotelan, agen perjalanan, transportasi, UMKM, pedagang oleh-oleh, hingga pekerja informal seperti porter dan pedagang kaki lima.
Ketua HIPPI DIY, Ariyanto, S.E., M.M., menuturkan bahwa para pelaku usaha saat ini masih menghadapi masa sulit, dengan angka kunjungan wisatawan yang belum sesuai harapan.
Eko Haryanto, M.Par., CHE. menyampaikan hasil pengumpulan data awal bahwa tingkat hunian hotel di DIY pada semester pertama 2025 mengalami penurunan antara 30–60%. Dampak paling terasa terjadi pada hotel-hotel yang mengandalkan segmen MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), yang selama ini banyak melayani kegiatan instansi pemerintah.
“Segmentasi pasar hotel MICE sulit dialihkan karena infrastruktur yang memang didesain khusus untuk kegiatan pertemuan berskala besar,” ujarnya.
Selain itu, meningkatnya jumlah akomodasi non-hotel dalam beberapa tahun terakhir turut berkontribusi terhadap ketidakseimbangan pasar, yang tidak diimbangi dengan kebijakan stimulus atau relaksasi pajak dari pemerintah. Sementara itu, larangan study tour turut menekan perputaran ekonomi pelaku wisata skala kecil seperti desa wisata, pedagang oleh-oleh, dan rumah makan.
Dalam FGD, para peserta sepakat bahwa kebijakan efisiensi dan pelarangan study tour perlu ditinjau ulang. Pemerintah diharapkan mampu membedakan antara belanja dinas yang bersifat konsumtif dan belanja dinas yang berdampak produktif terhadap ekonomi lokal.
Terkait study tour, kebijakan pelarangan sebaiknya diganti dengan kebijakan pengaturan yang memastikan kegiatan edukatif tersebut tetap aman, terjangkau, dan berdampak positif, baik bagi siswa maupun pelaku ekonomi daerah.
Beberapa poin penting yang menjadi rekomendasi dalam FGD ini antara lain: diferensiasi produk wisata perlu terus dikembangkan, seperti wisata kesehatan, sport tourism, dan wisata berbasis desa.
Kemudian kreativitas dalam menggerakkan wisata domestik harus menjadi prioritas, terlebih di tengah keterbatasan akibat kebijakan yang berlaku.
Selanjutnya pemerintah perlu melibatkan pelaku usaha dalam perumusan kebijakan serta melakukan sosialisasi dan mitigasi dampak sebelum implementasi.
Sehingga kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat menjadi kunci keberlanjutan sektor pariwisata DIY.
FGD ini diakhiri dengan semangat kolaboratif untuk terus menjaga daya tahan sektor pariwisata DIY di tengah berbagai tantangan. STIPRAM Yogyakarta melalui kegiatan ini kembali menegaskan perannya sebagai institusi pendidikan tinggi yang aktif berkontribusi dalam menjembatani dialog kebijakan dan dunia usaha berbasis data dan kajian ilmiah. (Rls)