KORAN MERAPI – Meski zaman now becak onthel sudah jarang, Mbah Gin (bukan nama sebenarnya) tetap menjalani pekerjaan itu. Hari itu Mbah Gin mangkal dekat terminal, menunggu penumpang. Jelang petang, bus terakhir dating. Mbah Gin menawarkan jasanya, “Becak, Pak… Bu…” Tetapi tidak seorang pun memakai becaknya.
Saat hendak pulang, Mbah Gin suara tepuk tangan memanggil becaknya. Mbah Gin menghampiri. Ternyata pria bule. Sepertinya backpacker atau turis kantung cekak. Tanpa kata-kata bule itu langsung naik becak. Mbah Gin terdiam karena tidak bisa berbahasa Inggris.
Juga tidak ada permintaan tujuan penumpangnya. Mbah Gin berinisiatif mengantar bule itu ke penginapan dekat terminal. Dalam perjalanan, tiba-tiba bule itu berkata, “Benteng Pendem!” Mbah Gin merasa aneh, “Sudah malam begini, mau apa bule ini ke Benteng Pendem?” Lagian tempatnya lumayan jauh, bisa setengah jam perjalanan.
Di perjalanan bule itu tak pernah diam berbicara dalam bahasa aneh, seperti ngedumel. Kadang terdengar suara geraman. Mbah Gin melihat ke dalam becak mengira bule itu sedang menelepon, ternyata tidak. Suara geraman terdengar semakin menakutkan dan becaknya semakin berat dikayuh.
Saat memasuki kawasan pantai, suasana gelap. Tidak ada lagi kendaraan dan pengunjung. Angin pantai yang bertiup kencang menciptakan suara yang menakutkan.
Tiba di pelataran Benteng Mbah Gin melihat rombongan manusia berada di pojok benteng. Sepertinya bule itu sudah ditunggu teman-temannya. Tapi anehnya, mereka naik apa? Tidak ada kendaraan yang parkir. Rombongan itu seperti memakai pakaian ala Eropa tempo dulu.
Perasaan Mbah Gin mulai tak enak. Tiba-tiba, sebuah tangan menyembul di belakang becak. Jantung Mbah Gin trataban. Dia baru ingat sedang membawa penumpang. Dilihatnya tangan itu menyerahkan beberapa lembar uang kertas warna biru. Bule itu turun.
Gandrik! Bule itu sudah berganti pakaian ala Eropa tempo dulu. Mendadak berembus hawa dingin. Lalu bule itu berjalan, lebih tepatnya melayang menuju sekumpulan sosok itu. Belum jauh, bule itu menoleh menatap Mbah Gin, astaga, wajahnya sangat pucat, bola matanya semua hitam. Ia memperlihatkan giginya yang runcing-runcing.
Seketika itu juga Mbah Gin putar balik sambil mendorong becaknya cepat-cepat. Ia sempat melihat hantu-hantu itu melayang menembus dinding benteng di kegelapan malam. Terdengar pula suata tawa mengerikan. (Aribowo/Jbo)