KORAN MERAPI – Setiap tahun, menjelang hari raya keagamaan, seperi Idul Fitri, Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi topik yang hangat diperbincangkan, terutama dari sudut pandang pengusaha. Bagi pekerja, THR adalah hak yang dinantikan sebagai tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hari raya. Namun, bagi pengusaha, terutama pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), THR bisa menjadi beban finansial yang cukup berat, terutama dalam kondisi ekonomi yang belum stabil, atau hanya sekedar Bonus Hari Raya (BHR) yang diberikan kepada pekerja.
Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 6 Tahun 2016, pemberi kerja wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah bekerja minimal satu bulan secara terus-menerus. Bagi perusahaan besar yang memiliki arus kas sehat, THR mungkin tidak menjadi masalah. Namun, bagu UMKM dan usaha yang masih merintis, kebijakan ini dapat menjadi tantangan besar walaupun hanya ada BHR saja.
Banyak pengusaha kecil yang kesulitan mengalokasikan dana THR karena margin keuntungan yang tipis. Dalam beberapa kasus, mereka terpaksa meminjam modal tambahan atau bahkan mengurangi operasional demi memenuhi kewajiban ini. Dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu, aturan THR yang bersifat wajib tanpa mempertimbangkan kondisi keuangan perusahaan bisa menjadi tekanan yang berat bagi pengusaha kecil.
Berbeda dengan pekerja formal, pekerja di sektor nonformal seperti pekerja lepas, buruh harian, dan tenaga kerja mandiri tidak memiliki payung hukum yang jelas dalam mendapatkan THR. Tidak ada regulasi yang mengikat pengusaha untuk memberikan THR kepada mereka, sehingga nasib mereka bergantung pada kebijakan masing-masing pemberi kerja.
Dari perspektif pengusaha, fleksibilitas dalam memberikan THR bagi pekerja nonformal sebenarnya menjadi keuntungan tersendiri. Mereka tidak terikat kewajiban hukum, tetapi bisa memberikan insentif dalam bentuk bonus atau tunjangan atau bisa disebut BHR lain berdasarkan performa dan kondisi keuangan perusahaan.
Untuk menciptakan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlangsungan bisnis, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan yang lebih fleksibel. Misalnya:
1. Subsidi atau insentif pajak bagi UMKM yang mengalami kesulitan membayar THR.
2. Mekanisme pencicilan THR bagi usaha yang arus kasnya tidak cukup kuat.
3. Regulasi khusus bagi pekerja nonformal, misalnya dengan mendorong skema tabungan hari raya atau insentif berbasis kinerja.
Ketiga hal tersebut diatas perlu untuk didiskusikan antara pemerintah dan pengusaha untuk duduk dalam satu meja, agar mendapat solusi terbaik kedepannya, sehingga tiap tahun tidak menjadikan beban bagi pengusaha di sektor swasta.
THR memang hak pekerja, tetapi bagi pengusaha, terutama UMKM, kebijakan ini bisa menjadi tantangan tersendiri. Regulasi yang lebih fleksibel dan bantuan dari pemerintah akan sangat membantu dalam menjaga keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan usaha.
Dengan begitu, baik pekerja formal maupun nonformal dapat merasakan manfaat THR tanpa membebani sektor usaha secara berlebihan. (*)