KORAN MERAPI – Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sejak awal berdiri membawa misi besar menjaga marwah profesi dan kemandirian pers di tanah air. Sebagai organisasi wartawan terbesar, PWI diharapkan berdiri tegak di atas semua kepentingan, terutama dalam mengawal independensi pers dari intervensi kekuasaan. Namun kini publik layak bertanya: masihkah PWI independen ketika pucuk pimpinannya dijabat oleh Ahmad Munir, yang sekaligus menjabat sebagai Direktur Utama LKBN Antara—salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN)?
Pertanyaan ini wajar muncul. Seorang Dirut BUMN secara struktural adalah bagian dari birokrasi negara, tunduk pada aturan, kebijakan, dan kepentingan pemerintah. Bagaimana mungkin PWI sebagai organisasi profesi wartawan bisa sepenuhnya independen jika dipimpin oleh seseorang yang posisinya sangat terikat pada kepentingan negara? Bukankah ini menciptakan potensi konflik kepentingan yang nyata?
Independensi pers bukan hanya jargon, melainkan prinsip dasar. Jika kepemimpinan PWI berada di bawah bayang-bayang birokrasi pemerintah, publik akan meragukan sejauh mana organisasi ini dapat lantang bersuara mengkritik kebijakan negara, termasuk kebijakan yang menyangkut BUMN. Apakah mungkin PWI mengkritisi persoalan di tubuh BUMN, sementara ketuanya sendiri adalah Dirut BUMN?
Kondisi ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, Ahmad Munir tentu memiliki kapasitas manajerial dan jejaring luas. Namun di sisi lain, posisi ganda tersebut berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap netralitas PWI. Jika independensi melemah, maka PWI bukan lagi rumah besar wartawan yang bebas dari intervensi, melainkan organisasi yang rawan terseret kepentingan penguasa.
PWI perlu melakukan refleksi serius. Independensi organisasi profesi adalah benteng terakhir kebebasan pers. Jika benteng itu runtuh, maka PWI hanya akan menjadi nama besar tanpa makna. Pada akhirnya, publik berhak bertanya: apakah PWI kini berdiri untuk kepentingan wartawan dan masyarakat, atau sekadar memperkuat posisi pemerintah melalui figur ketuanya?. (*)