KORAN MERAPI – Pasangan suami istri, Wakiyat dan Dwi Kuswanti mempunyai usaha pecel lele sejak 2004 silam. Awalnya, wujud warung tenda.
Seiring perjalanan waktu, dapat menyewa kios milik Pemerintah Kalurahan Sidomulyo Godean yang berada di pinggir lapangan sepak bola Sidomulyo. Gerobak pecel lele ditempatkan di depan kios.
Jam buka warung pecel lele tersebut, rata-rata pukul 17.00 hingga 22.00 WIB. Ketika belum banyak pesaing, setiap warung buka bisa menghabiskan sekitar 20 kilogram lele.
“Tapi, akhir-akhir ini semakin banyak pesaing usaha warung pecel lele. Di sini, jarak sekitar satu hingga dua kilometer ada lebih dari lima warung pecel lele,” ungkap Kiyat, sapaan akrab Wakiyat, akhir pekan lalu.
Banyaknya pesaing warung pecel lele, lanjut Kiyat, berpengaruh pada omset penjualan pecel lele di tempatnya. Sekali buka, lele mentah yang dibutuhkan tak lebih dari 10 kilogram.
Kenyataan tersebut tak lantas membuat Kiyat dan istrinya putus asa. Keduanya sepakat selain pecel lele, warungnya juga menyediakan tiga jenis soto, yaitu soto Betawi, Lamongan dan Sokaraja.
Menurut Dwi Kuswanti, masakan tiga jenis soto tersebut sekitar pukul 06.30 WIB sudah disediakan. Jika stoknya masih ada, sore maupun malam hari masih tersedia pula masakan sotonya.
“Sebagai makanan ringannya dan cocok untuk lauk soto, kami menyediakan juga tahu bacem, bakwan, mendoan dan tahu susur,” ungkap Dwi.
Lalu dipilihnya tiga jenis soto tersebut, ungkap Dwi, antara lain agar berbeda dengan warung soto di sekitar tempat tersebut, khususnya di kawasan Jalan Bibis.
Selain itu, bagi penggemar masakan berkuah jenis soto akan ada tiga pilihan sekali datang ke warung soto. Ia sendiri pernah membeli tiga jenis soto tersebut di sejumlah setempat.
Selanjutnya secara otodidak belajar ataupun praktik memasak ketiga jenis soto tersebut. Cara belajar pun cukup beragam, termasuk di media internet.
“Masing-masing jenis soto, baik Betawi, Lamongan maupun Sokaraja mempunyai kekhasan tersendiri. Menurut saya tetap cocok dengan lidah penggemar soto di Yogyakarta dan sekitarnya,” urai Dwi.
Ibu dari tiga anak ini menjelaskan, salah satu kekhasan soto Sokaraja, yakni menggunakan bumbu kacang sebagai toppingnya. Sebelum dikonsumsi, idealnya diaduk-aduk sampai tercampur merata dengan isian soto.
“Bumbu kacang, tidak sulit membuatnya, yaitu kacang tanah yang dimasak dengan disangrai lalu ditumbuk bersama gula Jawa. Hasil akhirnya bisa ditempatkan di toples,” terang Dwi.
Sebagai isian dalam soto ini antara lain mi bihun, irisan kol, loncang, tauge dan suwiran daging ayam dan ada krupuk warna. Lain halnya dengan soto Betawi, yakni menggunakan daging sapi, kentang hingga emping melinjo.
Sedangkan soto Lamongan, salah satu tambahannya yang khas yaitu koya. Bahan koya dapat menggunakan kerupuk udang serta ebi, namun bisa pula cukup berbahan serundeng kelapa
“Agar harga soto Lamongan lebih terjangkau, kami memilih bahan membuat koya cukup serundeng kelapa. Dengan tambahan bumbu-bumbu dan gula secukupnya, koya serundeng kelapa rasanya gurih dan sedikit manis,” terang Dwi.
Ia pun berharap, baik usaha pecel lele maupun tiga jenis soto, yaitu Betawi, Lamongan dan Sokaraja mampu menjadi jalan mendapatkan rezeki secara halal. Bisa mempermudah pula warga yang ingin mencari makanan, siang maupun malam hari.*