KORAN MERAPI – Kali ini penulis menyorot perkembangan kejadian yang sedang viral, yaitu polemik seputar pelarangan kegiatan study tour di berbagai daerah menyusul kecelakaan tragis bus wisata yang membawa rombongan siswa SMK Linggar Kencana di Ciater, Subang.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, serta Kadinas wilayah Provinsi Banten, Sumatera Utara yang kemudian diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah dan daerah lainnya memicu banyak pertanyaan dari berbagai kalangan. Larangan ini, yang konon didasarkan pada upaya untuk menghindari tragedi serupa terjadi lagi.
Timbul pertanyaan, apa sebenarnya yang menjadi dasar dari pelarangan ini? Apakah kebijakan ini telah melalui kajian mendalam dan mempertimbangkan segala aspek yang relevan? Masyarakat pariwisata, khususnya, menantikan penjelasan yang lebih transparan dan komprehensif mengenai langkah-langkah yang diambil oleh para kepala dinas pendidikan ini, setelah adanya pelarangan.
Perlu kita pahami bersama bahwa kecelakaan yang terjadi bukanlah semata-mata akibat dari kegiatan study tour itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, penyebab utama kecelakaan tersebut adalah faktor operasional transportasi yang tidak memenuhi standar keamanan, serta kesiapan sumber daya manusia yang tidak optimal.
Keputusan reaksioner dengan menghentikan kegiatan study tour jelas tidak akan mengatasi akar masalah ini. Kita semua mengetahui bahwa kondisi transportasi, pengawasan terhadap armada bus dan profesionalitas pengemudi adalah masalah utamanya. Oleh karena itu, penekanan seharusnya diberikan pada peningkatan standar keselamatan dan kelayakan armada, serta pelatihan dan pengawasan yang ketat bagi pihak penyedia jasa transportasi.
Menghentikan kegiatan study tour bukan hanya menunjukkan kurangnya empati terhadap kekecewaan dan suasana hati para siswa yang kegiatannya dibatalkan, tetapi juga mengabaikan nilai edukatif yang signifikan dari aktivitas tersebut. Melalui pengalaman langsung di lapangan, siswa dapat memperoleh pembelajaran yang tidak bisa didapatkan di dalam kelas. Menghapuskan study tour berarti menghilangkan peluang bagi siswa untuk mendapatkan pembelajaran berbasis pengalaman yang sangat berharga.
Di sisi lain, dampak pelarangan tersebut memiliki efek luas dan domino terhadap dunia pariwisata. Banyak destinasi wisata yang bergantung pada kunjungan rombongan sekolah akan merasakan penurunan pendapatan. Industri perhotelan, restoran, dan pemandu wisata juga akan terkena imbasnya. Belum lagi UMKM dan pedagang kecil yang turut mengandalkan kunjungan wisatawan akan mengalami kesulitan.
Mungkin sebagai solusi alternatif, kadinas dan pihak sekolah dapat mengambil langkah-langkah untuk memastikan keselamatan siswa tanpa harus melarang kegiatan study tour. Misalnya, mereka bisa menerapkan regulasi dan pengawasan lebih ketat terhadap sekolah dalam memilih penyelenggara tur dan transportasi. Ini termasuk mensyaratkan sertifikat kelaikan dan uji inspeksi kendaraan, serta tidak menerima kendaraan yang berumur lebih dari 5 tahun dan lain sebagainya.
Selain itu, departemen perhubungan juga perlu didesak untuk lebih menegakkan regulasi yang ada. Ini bisa meliputi peningkatan frekuensi inspeksi kendaraan, memastikan kepatuhan terhadap standar keselamatan, dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar dan seterusnya.
Dan yang lebih penting, Kadinas memperketat pengawasan guna menihilkan terhadap praktik “kick back” yang umum terjadi, di mana penyelenggara pariwisata memberikan insentif khusus kepada oknum sekolah yang mengurus soal study tour. Hal ini sudah menjadi rahasia umum dan sering kali menggadaikan faktor keselamatan demi keuntungan oknum pribadi.
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, perlu kita suarakan kritik bahwa kebijakan yang reaktif tanpa solusi jangka panjang tidak hanya merugikan siswa, tetapi juga memukul sektor pariwisata dan ekonomi masyarakat luas.
Pendidik adalah teladan bagi para siswa. Sebagai pendidik, terlebih lagi sebagai kepala dinas pendidikan, mereka memiliki tanggung jawab besar untuk menunjukkan sikap yang patut dicontoh. Apa “moral story” yang ingin disampaikan kepada para peserta didik dengan keputusan reaksioner nan tumpul seperti ini? Apakah kecepatan dalam mengambil tindakan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang yang ingin diwariskan?
“Don’t throw the baby out with the bathwater” Peribahasa ini mungkin relevan dalam konteks kebijakan terkait pelarangan kegiatan study tour. Terkadang, respons yang terlalu reaktif terhadap suatu kejadian bisa mengakibatkan tindakan yang tidak proporsional terhadap kegiatan yang memiliki nilai edukatif dan ekonomi yang penting. (***)