KORAN MERAPI – Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini di Indonesia menjadi sebuah ironi. Berbagai faktor mendorong terjadinya kasus pelecehan dan kekerasan seksual, mulai dari budaya patriarki hingga gangguan psikologi.
“Kasus pelecehan dan kekerasan seksual belakangan ini merupakan fenomena yang kompleks dan memprihatinkan,” ungkap Dosen Psikologi Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo, S.Psi., M.Psi, Psikolog, Sabtu (12/4/2025) kepada awak media.
Nita menyebut di balik gelar akademik dan posisi yang dihormati, beberapa individu terpelajar ternyata justru malah menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruh mereka untuk melakukan tindakan yang sangat tidak pantas.
“Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual adalah kultur patriarkis yang masih kuat dalam masyarakat,” ujar Nita.
Pandangan bahwa perempuan sebagai objek yang dapat dimanfaatkan dan dikontrol masih melekat dalam beberapa lapisan masyarakat, termasuk di kalangan terpelajar. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku mereka dan membuat mereka merasa memiliki hak untuk mengontrol dan memanfaatkan orang lain.
Selain itu, posisi kekuasaan dan akses ke sumber daya yang luas juga dapat membuat orang terpelajar dengan kekuasaan merasa tidak dapat dijangkau oleh hukum dan akuntabilitas.
“Mereka mungkin merasa bahwa mereka dapat melakukan apa saja tanpa konsekuensi, karena mereka memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar,” ucap Nita.
Faktor lainnya adalah karena nir empati. Ilmu yang didapatkan sebagai yang terpelajar justru digunakan sebagai alat untuk meraih dan memuaskan nafsu. Beberapa diantara yang terjadi bisa jadi karena memang ada indikasi faktor psikologis yang dimiliki, seperti adanya masalah psikologi hingga gangguan psikologi.
Masa kecil yang buruk, pernah mendapatkan pelecehan seksual, atau terbiasa melihat tontonan berbau pornografi dapat menjadi penyebab lainnya. Adanya disorientasi seksual, kebiasaan memperlakukan orang lain semena-mena serta libido yang tidak sejalan dengan super ego menjadi faktor penguat kenapa ini mudah terjadi.
Super ego dalam diri manusia sejatinya bisa mengendalikan manusia jika ingin melakukan hal yang buruk, jika super ego tidak berfungsi dan ego menjadi dominan, maka muncullah nir empati dengan tanpa memikirkan bagaimana efek dari semua yang akan terjadi.
“Ego berkuasa untuk dipenuhi, itulah yang membuat mereka kalap dan ingin dan ingin terus melakukan hal tersebut tanpa rasa malu. Namun, perlu diingat bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi karena faktor-faktor tersebut. Trauma dan gangguan psikologis juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Beberapa orang terpelajar mungkin memiliki riwayat trauma atau gangguan psikologis yang mempengaruhi perilaku mereka,” ungkapnya.
Dampak kekerasan seksual pada korban sangat besar dan berkepanjangan. Korban dapat mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD), depresi, dan kecemasan yang berkepanjangan. Kekerasan seksual juga dapat mempengaruhi kemampuan korban untuk membentuk hubungan yang sehat dengan orang lain.
Oleh karena itu, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual sangat penting. Pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual dan dampaknya dapat membantu mencegah kasus-kasus seperti ini.
“Dukungan pada korban, seperti konseling dan bantuan hukum, juga sangat penting untuk membantu mereka pulih. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual dapat menjadi efek jera dan mencegah kasus-kasus serupa di masa depan,” tutup Nita. (Rls)