KORAN MERAPI – Hingga 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Indonesia masih mengimpor lima komoditas pangan utama, yaitu beras, daging sapi, bawang putih, jagung, dan gula pasir. Ketergantungan tinggi terhadap impor pangan ini sering kali memicu inflasi dan membebani perekonomian nasional.
Untuk itu, upaya pelestarian dan pengembangan pangan lokal perlu diprioritaskan, terutama melalui diversifikasi pangan yang berkelanjutan guna mendukung kemandirian pangan, stabilitas ekonomi, dan ketahanan pangan nasional. Namun, upaya pelestarian dan peningkatan produksi pangan lokal nyatanya bukan hal yang mudah.
Kebijakan dan program diversifikasi konsumsi pangan lokal yang telah lama dilaksanakan, belum menunjukkan hasil yang signifikan pada peningkatan konsumsi pangan lokal. Tantangan utamanya meliputi ketersediaan pangan lokal yang terbatas karena kekeringan yang berkepanjangan, harga yang kurang kompetitif, serta mutu produk yang tidak konsisten karena tidak ada standar baku mutu untuk pangan lokal.
Menurut data dari Badan Pangan Nasional dan Kementerian Pertanian pada 2019, Indonesia memiliki 77 spesies tanaman pangan lokal yang menjadi sumber karbohidrat, lemak, protein, serta berbagai jenis sayuran, buah-buahan, dan rempah-rempah.
Beberapa contoh komoditas pangan lokal potensial meliputi: ubi kayu/ singkong, ubi jalar, pisang, jagung, sukun, ganyong, sagu, labu, umbi garut/irut/arus/jelarut, talas, suweg/iles-iles/porang, gadung, gembili, dan sorgum/cantel.
Dari banyaknya contoh bahan pangan lokal potensial yang tersedia di masyarakat, menurut Badan Pangan Nasional, pola konsumsi masyarakat masih belum beragam, bergizi seimbang dan aman, yang artinya konsumsi energi dari kelompok padi-padian, minyak, lemak, dan pangan hewani masih melebihi dari konsumsi ideal. Sebaliknya, umbi-umbian, kacang-kacangan, serta sayur dan buah masih lebih rendah dibandingkan standar pola pangan harapan.
Hal ini menunjukkan tidak semua makanan lokal tersebut dipelajari atau dibudidayakan secara luas oleh masyarakat. Jika hanya mengandalkan salah satu komoditi saja, berarti kita tidak menghargai keragaman dan kekayaan sumberdaya hayati yang kita miliki.
Untuk mendorong pengembangan pangan lokal, diperlukan strategi yang komprehensif, meliputi:
Pertama, pendekatan dengan pemanfaatan teknologi pengolahan pangan yang dilakukan dengan mengubah bentuk asli pangan lokal dan memperkaya nilai gizinya guna meningkatkan citra pangan lokal, diarahkan pada segmen masyarakat tertentu yang menyesuaikan dengan pola hidup yang praktis penyajian dan pengolahannya, kerja sama dengan perguruan tinggi dan lembanga penelitian. Misalnya beras analog dari jagung, sagu, singkong, porang, dll.
Kedua, pendekatan dengan mempertahankan kearifan lokal terhadap budaya pola pangan setempat. Dilakukan melalui sosialisasi dan promosi agar percaya diri bahwa pola konsumsi pangan lokal adalah hal sangat bijaksana untuk dipertahankan baik dari sisi kesehatan maupun pelestarian budaya. Misalnya pembuatan embal dari Maluku, Rasi di Cirendeu, thiwul di Jawa, Sinonggi dan Kabuto di Sultra, dll.
Ketiga, memperluas promosi dan meningkatkan preferensi konsumen terhadap pangan lokal melalui modifikasi atau inovasi produk pangan yang dapat menghilangkan rasa bosan bagi konsumen. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi seperti lokapasar (marketplace) dan media sosial dapat dijadikan salah satu bentuk strategi pemasaran untuk memperluas promosi produk.
Pemerintah memiliki peran krusial dalam mendorong promosi bahan pangan lokal. Minimnya dukungan dari pemerintah dapat menyebabkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya konsumsi pangan lokal.
Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri memiliki potensi besar dalam pengembangan pangan lokal, seperti ubi jalar, ubi kayu, talas, ganyong, umbi garut, dan jagung. Berbagai bahan pangan kaya karbohidrat ini dapat diolah menjadi makanan pokok, seperti klepon ubi, getuk talas, getuk ganyong, serta mie lethek. Selain itu, buah-buahan lokal Yogyakarta, terutama salak pondoh, banyak diolah menjadi produk seperti dodol salak, manisan salak, keripik salak, dan berbagai jenis makanan lainnya. Buah lokal lain, seperti pisang kepok kuning dan pisang kluthuk, meskipun nilai jualnya rendah, tetap dapat dimaksimalkan menjadi produk olahan yang lebih menarik dan bernilai tambah.
Kolaborasi antara petani, pemerintah, dan sektor swasta menjadi kunci utama dalam mengembangkan dan memasarkan pangan lokal secara efektif. Dengan pendekatan yang terintegrasi, diharapkan pangan lokal dapat menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.
Kemudian, bagaimana peran masyarakat dalam mendukung pangan lokal? Menurut Dr. Riska Purnama, dosen salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sekaligus pegiat pangan lokal di Yogyakarta, dengan membeli komoditas pangan yang dihasilkan petani lokal yang banyak dijual di pasar tradisional, serta memilih produk olahan pangan khas suatu daerah, selain mendukung pangan lokal juga dapat menggerakkan perekonomian daerah.
Kemudian, membeli sayur dan buah sesuai musim yang mudah didapat, akan mengurangi resiko penambahan bahan pengawet karena tidak memerlukan perjalanan yang jauh. Selain itu, dengan mengkonsumsi makan pokok selain nasi, menjadi salah satu jalan diversifikasi pangan secara mandiri. Yang tidak kalah penting, jangan melupakan jajan pasar yang dijajakan di pinggir jalan yang sebagian besar produknya menggunakan bahan dasar lokal, seperti sengkulun, lupis, gathot, getuk, kipo, jamu gendong, dan masih banyak lagi.
Dengan langkah-langkah sederhana ini, masyarakat tidak hanya mendukung keberlanjutan pangan lokal, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian budaya kuliner dan penguatan ekonomi daerah secara menyeluruh. (***)