KORAN MERAPI – Mbah Tupon (68), warga Kasihan Bantul Yogyakarta menjerit. Ia kaget bukan main, karena rumahnya mau dilelang BRI (Bank Rakyat Indonesia) Bantul. Pasalnya, kata petugas Bank, mbah Tupon punya utang macet 1,5 Milyar di BRI dengan agunan tanah dan rumah 1655 meter persegi. Padahal mbah Tupon merasa tak pernah mengagunkan rumah dan tanahnya untuk pinjam uang di BRI tadi.
Terus, kenapa terjadi? Ternyata, kasus yang menimpa mbah Tupon itu karena ulah mafia tanah.
Saat itu, cerita mbah Tupon, ia ingin membelah sertifikat tanahnya menjadi beberapa bagian. Untuk memudahkan ahli waris dalam mengurusnya nanti setelah mbah Tupon wafat.
Seseorang makelar tanah bernama T menyatakan ungin membantu proses pemecahan sertifikat tersebut di Badan Pertanahan Nasional (BPN). Mbah Tupon pun menyerahkan sertifikat asli tanah itu ke T agar diurus ke BPN.
Celakanya. Alih-alih T mengurus pemecahan sertifikat tadi, yang dilakukannya justru memindahtangankan sertifikat tanah milik Mbah Tupon ke orang lain bernama F. Oleh F sertifikat tanah itu diagunkan untuk mendapat kredit ke BRI sebesar Rp 1,5 Milyar. Tentu tanpa sepengetahuan mbah Tupon. Ternyata kreditnya macet. BRI pun akan melelang tanah tersebut untuk membayar utang tadi.
Belakangan T diketahui merupakan jaringan mafia tanah. Setelah kasus mbah Tupon terkuak ke publik, masih di Bantul juga, ada orang bernama Bryan Manov (35), yang mengaku tanahnya diatasnamakan pihak lain dan sudah diagunkan ke bank. Padahal Bryan tak tahu apa-apa. Pelakunya T. Sama seperti pelaku pemalsuan sertifikat tanah mbah Tupon.
Kasus mbah Tupon di Bantul ternyata hanya “secuil” dari problem gigantik mafia tanah di Indonesia. Korbannya tak hanya orang kecil seperti mbah Tupon. Tapi juga orang besar seperti keluarga Dr. Dino Patti Djalal, wakil Menlu Era SBY. Sertifikat Hurni Hasyim Djalal, ibunya Dr. Dino — mirip kasus mbah Tupon — juga diatasnamakan orang lain untuk pinjaman uang di Bank. Karena keluarga Dr. Dino dari kalangan elit, kasus tersebut segera terkuak. Pelakunya dijebloskan ke penjara.
Ini berbeda dengan kasus mbah Tupon, meski pelakunya sudah diketahui, proses penyelesaiannya niscaya panjang dan melelahkan. Bahkan bisa “hilang” di perjalanan karena permainan korupsi di lembaga penegak hukum.
Ada cerita lain yg lebih serem. Almarhum Prof. M Bambang Pranowo, Gubes UIN Jakarta, kaget bukan main, karena di atas tanah miliknya sudah berdiri rumah orang lain tanpa sepengetahuannya. Ketika di pengadilan, ternyata ada dua sertifikat tanah. Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sertifikat tanah milik Prof. Bambang yang sah, ternyata dikalahkan. Yang menang sertifikat tanah yang dijual mafia tanah.
Prof. Mahfud MD, mantan Menkopolhukam, bercerita permainan mafia tanah di Indonesia sangat dahsyat. Satu luasan tanah di Jakarta, ada yang sertifikatnya berjumlah puluhan dan diperjualbelikan. Nanti di pengadilan kalau ada sengketa, siapa yang paling besar “suapnya” ke aparat penegak hukum, itulah yang menang. Kasus terakhir ini banyak terjadi di lahan pertambangan batubara di Kalimantan Timur dan nikel di Halmahera.
Dalam film dokumenter Bloody Nickel yang dibuat LSM Jatam misalnya, diceritakan, banyak orang Halmahera yang “hari ini punya tanah besoknya tanah itu lenyap”, berganti menjadi milik pengusaha tambang.
Mau nuntut keadilan? Pasti kalah. Karena pihak kepolisian, Pemda, dan pengadilan setempat lebih percaya dokumen milik pengusaha tambang (yang dibantu mafia tanah) ketimbang sertifikat milik penduduk setempat.
Agama Islam sangat keras mengecam mafia tanah. Dalam fikih Islam, ditegaskan, perampas tanah yang bukan haknya, hukumannya sangat berat.
Rasulullah bersabda: “Tidaklah salah seorang dari kamu mengambil sejengkal tanah tanpa hak, melainkan Allah akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat kelak,” (HR Muslim).
Abul Abbas al-Qurthubi dalam kitabnya, Al-Mufhim lima Asykala min Talkhishi Kitabi Muslim (Juz IV: 534), menjelaskan, “Hadis ini merupakan ancaman sangat berat bagi mafia tanah. Perbuatan seperti ini termasuk kategori dosa besar. Merampas tanah, baik dengan cara ghashab, mencuri, ataupun menipu, sedikit atau banyak sama saja.”
Dalam perspektif syariah, praktik mafia tanah dikategorikan sebagai bentuk kezaliman (zalim), ghasab, dan pengambilan hak orang lain secara batil, yang hukumnya jelas haram.
Berikut penjelasan dari sudut pandang syariah:
1. Ghasab (merampas hak orang lain secara paksa).
Mafia tanah sering mengambil atau menguasai tanah yang bukan miliknya dengan cara manipulatif atau kekerasan. Ini tergolong ghasab, yang dalam Islam sangat dikecam.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa mengambil sejengkal tanah orang lain secara zalim, maka pada hari kiamat akan dikalungkan kepadanya tujuh petala bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Al-aklu bil-batil (memakan harta secara batil).
Mengambil keuntungan dari transaksi atau penguasaan tanah dengan cara yang tidak sah atau penuh manipulasi tergolong memakan harta orang lain secara batil, yang diharamkan dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah [2]: 188)
3. Merusak tatanan masyarakat dan keadilan.
Mafia tanah sering melibatkan korupsi, penipuan dokumen, dan kolusi dengan aparat. Ini bertentangan dengan prinsip ‘adl (keadilan) dan amanah (kepercayaan) yang sangat dijunjung dalam Islam.
4. Tindak kriminal yang harus diberantas.
Dalam fikih jinayah (hukum pidana Islam), mafia tanah bisa dikenakan hukuman ta’zir oleh pemerintah atau hakim (qadhi), karena kejahatannya merusak tatanan sosial dan menimbulkan kerugian besar terhadap individu dan masyarakat.
Kesimpulannya, mafia tanah adalah perbuatan haram dan kriminal dalam pandangan syariah. Pelakunya dikenai sanksi di dunia dan ancaman azab di akhirat yang sangat pedih. (*)