KORAN MERAPI – Diskusi selanjutnya, dilaksanakan Sabtu, 21 Desember 2024, pembicara berikutnya, Lalu Yudi Setiawan, pembelajar pada PDIH Unram 2023, menawarkan gagasan untuk melindungi karya sastra Sasak sebagai produk kultural melalui pendekatan hak cipta dan perlindungan ekspresi budaya tradisional.
Yudi melihat adanya potensi besar yang terkandung dalam setiap karya sastra yang ditransformasikan dan ditulis dalam bentuk takepan dan machapat. Potensi itu adalah nilai dan inspirasi yang bisa melahirkan karya-karya seni sastra dan budaya derivative lainnya.
Namun Hayyan ul Haq mengingatkan bahwa Hak cipta mengandung keterbatasan dalam melindungi produk kultural termasuk karya sastra Sasak ini, karena komponen internal dalam sistem perlindungan hak cipta cenderung menggunakan simbol-simbol semiotic modern (elements of modern semiotic symbols), seperti originalitas, identifiable author, limited protection, material form dan lain sebagainya.
Sementara karya sastra dan folklore yang merupakan produk kultural ini diturunkan dari generasi ke generasi, mungkin bisa ratusan atau bahkan ribuan tahun dan anonymous. Seringkali tidak diketahui siapa pencipta yang sesungguhnya.
Jadi dalam pandangan Haq, seharusnya semua produk kultural itu tidak hanya mengandalkan perlindungan hukum dan pengoptimasian melalui norma hukum positif yang ditetapkan oleh otoritas yang berkuasa saja, tetapi juga harus melihat potensi living law dan cultural products lain yang hidup di masyarakat, dipraktikkan, digunakan dan dikembangkan dalam kehidupan Komunitas Pengembanan budaya terkait.
Dalam kaitannya dengan gagasan tersebut, Haq, dengan mengacu pada pemikirannya yang disampaikan dalam UNESCO Expert Meeting di Amsterdam, pada tahun 2010, lebih lanjut menambahkan dan memperkuat gagasan pembentukan museum-museum inklusif yang akan menjadi media pembelajaran yang hidup dalam pengembanan kebudayaan tersebut.
Museum inklusif ini berbeda dengan museum konvensional yang hanya menyimpan, merawat dan memamerkan produk produk cultural heritage itu saja. Museum inklusif ini akan melibatkan masyarakat pengembanan kebudayaan itu untuk menggunakannya dan mengoptimalkan semua potensi fungsionalnya.
Sehingga dengan demikian, museum museum inklusif yang ada dalam masyarakat itu berfungsi sebagai: (i) media pembelajaran (kelas-kelas seni dan budaya) dalam transformasi nilai, cita dan identity; (ii) media konservator atas semua cultural heritage products; dan (iii) media berekonomi bagi masyarakat pengembannya.
Selanjutnya, pembicara berikutnya Mabrur Haslan menekankan pentingnya perlindungan hak Asasi manusia terutama bagi komunitas penyandang disabilitas. Hal ini didasarkan pada pemikiran konstitusional bahwa konstitusi itu meletakkan kewajiban positif bagi negara untuk menjamin pendidikan bagi semua rakyat warga negara Indonesia.
Dengan demikian, tersedianya akses atas pendidikan, termasuk pendidikan inklusif, bagi semua warga negara tanpa kecuali merupakan indicator penting dalam menguji dan mengukur kewajiban dan tanggungjawab konstitusional negara dalam menghormati (right to respect), melindungi (rights to protect) dan memenuhi (rights to fulfill) hak-hak fundamental warga negaranya.
Selain pembicara di atas, Dr. Murdan, yang juga Direktur Pascasarjana, Universitas Qamarul Huda (Nahdhatul Ulama), Bagu, Narmada, Lombok, yang mempresentasikan tentang pentingnya penyeimbangan antara hukum, kebebasan dan humanity.
Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa kebebasan dalam kehidupan setiap orang adalah hak fundamental. Namun demikian, hukum memberikan batasan atas demarkasi yang jelas atas ruang kebebasan tersebut. Dalam konteks inilah, kemanusiaan (humanity) berperan dalam memberikan arah kebebasan sekaligus menyeimbangkan kebebasan dan hukum.
Pemahaman ini penting sebagai fondasi teoritik atas pengakuan keberagaman dan keunikan setiap manusia dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian segala kebijakan yang discriminatif dan mengancam keberagaman eksistensi kehidupan setiap orang atau komunitas adalah kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi.
Dalam konteks ini, Hayyan ul Haq menekankan pentingnya pengkonstitusionalisasian kebijakan atau aktifitas penegakkan hukum yang tidak dapat memberikan perlindungan bagi pihak yang lemah (the weaker parties).
Pengkonstitusionalisasian ini penting untuk menjaga kekoherensian kekonsistensian, pelaksanaan konstitusi sampai pada tingkat yang paling bawah. Lebih lanjut, Haq menegaskan bahwa pengkonstitusionalisasian undang-undang, peraturan, kebijakan praktik hukum yang menyimpang ini merupakan cara yang paling valid, legitimate dan konstitusional dalam meneguhkan perwujudan dan pembadanan di substantive justice bagi semua (JUSTITIA OMNIBUS)!!!. (***)