KORAN MERAPI – Peribahasa Yunani yang menyatakan: “Ikan membusuk mulai dari kepalanya,” mengandung makna yang mendalam mengenai pentingnya kepemimpinan dalam suatu negara. Fakta menunjukkan bahwa kemajuan atau kemunduran sebuah negara sangat dipengaruhi oleh sosok pemimpinnya.
Jika pemimpin negaranya berakhlak demokratis, niscaya seluruh jajaran di bawahnya akan mengikutinya. Sebaliknya, jika pemimpin negaranya berakhlak nepotis niscaya jajaran di bawahnya akan mengikutinya.
ICW (Indonesian Corruption Watch) beberapa hari lalu mencatat: 174 anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) adalah produk nepotisme. Mereka berkerabat dengan elite partai politik atau penguasa daerah.
“Selain terafiliasi dengan para elit politik, 30 persen legislator memiliki hubungan keluarga dengan kepala daerah,” kata peneliti ICW, Yassar Aulia. Ia prihatin melihat betapa maraknya dinasti politik di Senayan.
Kenapa? Karena keberadaan dinasti politik di DPR membuat fungsi pengawasan lemah. Bagaimana mungkin, misalnya, anak mengawasi kecurangan ayahnya yang menjabat menteri X atau kepala daerah Y? Pastilah wagu. Sulit dilakukan.
Dengan demikian, fenomena dinasti politik di Senayan akan membuka celah tindak pidana korupsi. Lumpuhnya pengawasan legislatif terhadap eksekutif sama saja dengan membiarkan penguasa bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan roda pemerintahan. Hukum tak akan berjalan baik. Korupsi akan merajalela.
“Di Indonesia, partai politik kerap memberikan instruksi secara top-down kepada kadernya,” kata Yassar di Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2024, seperti dikutip Majalah Tempo edisi pekan ini.
Majalah Tempo edisi pekan ini memberitakan, bahwa dinasti politik anggota DPR tersebar di banyak partai. Di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, setidaknya empat anggota keluarga Sukarno menjadi anggota DPR. Di antaranya Ketua DPR Puan Maharani dan Hendra Rahtomo atau Romy Soekarno. Romy duduk di kursi DPR setelah PDIP menggeser dua calon legislator peraih suara di atasnya, yaitu Sri Rahayu dan Arteria Dahlan.
Anak Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Prananda Paloh, juga terpilih sebagai anggota DPR. Di Partai Demokrat, anak bungsu Susilo Bambang Yudhoyono, Edhie Baskoro Yudhoyono, kembali terpilih sebagai anggota DPR. Ipar Susilo Bambang Yudhoyono, Bramantyo Suwondo, juga menjadi anggota DPR.
Dinasti lain tersebar, seperti di Partai Golkar. Anak bekas Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, Ravindra Airlangga, serta adik Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Galih Dimuntur Kartasasmita, lolos ke Senayan.
Dosen hukum tata negara Universitas Mulawarman, Samarinda, Herdiansyah Hamzah, mengatakan fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif akan kian longgar. Apalagi partai-partai kuat yang memelihara dinasti politik berkoalisi dengan pemerintahan Prabowo Subianto yang menguasai kursi mayoritas di Senayan.
Menyedihkan memang, bila melihat fenomena politik di Indonesia saat ini. Celakanya, kondisi tersebut tampaknya akan berlangsung lama. Minimal sampai tahun 2029. Lebih celaka lagi kalau kondisi di atas berlangsung puluhan tahun. Negeri ini akan ambruk karena nepotisme.
Jika kita menengok pada ajaran Islam, untuk mencegah hukum terdegradasi karena nepotisme, Nabi Muhammad bersabda: “Seandainya Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya.” Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya keadilan dalam penegakan hukum, tanpa memandang status atau hubungan keluarga.
Hadis ini adalah pelajaran penting untuk umat manusia. Rasul tak peduli, siapa pun yang bersalah — meski putri kesayangannya — tetap akan ditindak sesuai hukum yang berlaku. Ini mencerminkan integritas dan ketegasan seorang pemimpin sejati yang dapat menjadi teladan bagi para pemimpin masa kini. (*)