KORAN MERAPI – Gaya penulisan berita dan feature memiliki perbedaan cukup signifikan. Penulisan berita cenderung formal, singkat dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
Sedangkan penulisan feature lebih kreatif, deskriptif serta menekankan pada aspek emosional. Unsur dalam feature, yakni opini, human interest dan sastra.
Hal tersebut diungkap Sutopo Sugihartono (Wartawan SKH. Kedaulatan Rakyat) saat menjadi pemateri Workshop Kepenulisan bertema, Melestarikan Sastra Jawa Lewat Feature di Sleman, baru-baru ini.
Sebagai pemrakarsa workshop, yakni Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayaan) Kabupaten Sleman untuk menyongsong peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang diperingati setiap 21 Februari.
Dalam kesempatan tersebut, Sutopo juga menjelaskan, feature juga dikenal sebagai karangan khas yang menyajikan fakta dengan gaya ringan, menarik dan memberikan fungsi menghibur.
Khususnya menulis feature dalam Bahasa Jawa, lanjut Sutopo, sama menulis pada umumnya. Namun perlu memperhatikan kaidah-kaidah dalam Bahasa Jawa terutama soal ejaan dan unggah-ungguh. “
Hal ini karena dalam Bahasa Jawa mengenal undha-usuk atau tata krama dalam pengetrapannya sering menyulitkan bagi pembaca kalau dituliskan tidak tepat,” urai Sutopo yang juga ketua Paguyuban Sastra Budaya Jawa (Pasbuja) Kawi Merapi.
Pemateri lainnya, Budi Sarjono (Penulis/Novelis) mengungkapkan, rumus baku dalam penulisan berita, yaitu 5W+1H, sedangkan untuk feature, 5W+1H ditambah 3I (intuisi, investigasi dan imajinasi).
“Intuisi yaitu kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Bisa juga disebut feeling, kepekaan batin atau dalam Bahasa Jawa dapat disebut rasa,” terangnya.
Lain halnya dengan investigasi, lanjut Budi, merupakan penelusuran, penelitian mendalam, pengumpulan data secara mendalam dan akurat. Sedangkan imajinasi, bisa pula diartikan membayangkan/menggambarkan berdasar pengalaman ataupun kenyataan dengan kemampuan berimajinasi seorang penulis feature bisa lebih menghidupkan cerita.
Ditambahkan Budi atau sering disapa Budsar, dengan investigasi, feature yang ditulis akan lebih mampu menyentuh hati pembaca. Selain itu tulisan feature lebih abadi dibandingkan berita.
Sementara itu Wiwien Widyawati Rahayu (Dosen Prodi Bahasa, Sastra dan Budaya Jawa Fakultas Ilmu Budaya UGM) memaparkan materi bertema, Sumber Pustaka untuk Memperkuat Isi Feature.
Menurut Wiwien, sumber pustaka ataupun rujukan merupakan sesuatu yang digunakan sebagai pemberi informasi untuk menyokong atau memperkuat pernyataan dengan tegas. Selain itu, lanjut Wiwien, rujukan dikenal juga dengan sebutan referensi. Lalu mengapa rujukan penting? Antara lain erat kaitannya dengan etika, penguatan klaim, dan penghargaan/pengakuan.
“Bentuk rujukan atau referensi untuk penulisan feature, bisa yang tertulis maupun lisan,” terangnya.
Rujukan tertulis jika akan menulis feature berbahasa Jawa, sebut Wiwien, misalnya dengan studi pustaka (buku/penelitian terdahulu) dan studi arsip. Sedangkan yang lisan, yakni wawancara terkait oral history (sejarah lisan). (Yan)